Lontara adalah sistem tulisan abugida yang terdiri dari 23 konsonan. Seperti aksara Brahmi lainnya, setiap konsonan mempunyai vokal inheren /a/, dapat dibaca /ɔ/ dalam bahasa Bugis (artikulasi vokal inheren yang sama dapat ditemukan dalam aksara Jawa), yang diubah dengan pemberian diakritik tertentu menjadi vokal /i/, /u/, /e/, /ə/, atau /o/. Namun dari itu, Lontara tidak memiliki sebuah tanda virama (tanda pemati vokal) atau tanda konsonan akhir. Bunyi nasal /ŋ/, glotal /ʔ/, dan gemitasi konsonan dalam bahasa Bugis tidak ditulis. Karena itu, teks Lontara dapat menjadi sangat rancu bagi yang tidak terbiasa. Semisal dapat dibaca sara 'kesedihan', sara' 'menguasai', atau sarang 'sarang'.
Masyarakat Bugis memanfaatkan kekurangan tulisan ini dalam permainan bahasa Basa to Bakke’ ('bahasa orang-orang Bakke’') dan Elong maliung bəttuanna ('lagu dengan arti dalam'). Basa to Bakke’ hampir sama dengan mengejek, dimana dua kata dengan makna berbeda namun pengejaan yang sama dimanipulasi untuk membentuk frase dengan makna tersembunyi. Elong maliung bettuanna juga bekerja dengan prinsip yang sama, dimana pendengar menerka cara baca yang benar dari suatu puisi tidak bermakna untuk menyingkap pesan dari puisi tersebut.
Lontara ditulis dari kiri ke kanan, namun tulisan ini juga dapat ditulis secara tidak beraturan (boustrophedon). Umumnya metode kedua diterapkan dalam buku harian Bugis tua, yang setiap halamannya direservasi untuk kejadian dalam satu hari saja. Ketika seorang penulis kehabisan tempat untuk kejadian satu hari, baris terakhir akan berbelok dan berputar dalam alur zig-zag hingga tidak tersisa tempat lagi di halaman tersebut.
No comments:
Post a Comment